Terletak
di bumi Sulawesi Selatan, sekitar empat jam dari ibu kota Makassar sampai tiba
di kecamatan Cenrana Kabupaten Bone kemudian dilanjutkan dengan perjalanan
menempuh jalur sungai aliran danau Tempe, dengan menaiki perahu katinting
sekitar tiga puluh menit, tibalah anda di desa Pusungnge, salah satu desa
pesisir Bone. Desa yang dimekarkan pada tahun 1993 ini terbagi menjadi dua
dusun, yaitu dusun I dan dusun II (penduduk lokal menamai dusun II Nipa-nipa).
Dengan jumlah kepala keluarga yang mencapai seratusan lebih, salah satu desa
dari 333 desa yang ada di Bone ini berhasil dimerkarkan dan mendapat jatah dana
pemekaran desa dari pemerintah daerah. Sebagian daratan kecamatan Cenrana yang
hanya mempunyai 1 kelurahan saja dan 15 desa diselimuti oleh tambak atau empang
yang menjadi tempat mata pencaharian utama hampir seluruh warga setempat,
termasuk desa
Pusungnge. Beberapa warga mempunyai empang sendiri atau empang
yang dikontrak untuk dikelola, beberapa lainnya bekerja kepada pemilik empang
sebagai pekerja empang. produksi empang pun di desa ini cukup besar sampai
terkenal pada skala nasional hingga internasional. Hasil-hasil empang tersebut
meliputi berbagai jenis ikan, udang, kepiting, dan yang paling baru dan
diminati warga adalah bertani Sango-sango, semacam pertanian rumput laut yang
tumbuh di air payau, biasanya di tambak. Anak muda usia remaja pun banyak yang
memilih untuk mengambil profesi ini di umur produktif mereka untuk belajar di
sekolah atau perguruan tinggi. Setiap bulan mereka rata-rata bisa memeroleh
penghasilan kira-kira 2-3 juta per bulan dengan bekerja sebagai buruh membantu
pemilik empang untuk merawat dan memanen hasil empangnya. Mereka bekerja dari
pukul 8 pagi hingga 3 siang.
Gambar 1 Salah satu tambak warga Nipa-Nipa,
dusun II Desa Pusungnge
Adapun pemilik empang, kalau kondisi empang dan cuaca
mendukung, mereka bisa memeroleh penghasilan kotor sekira 90 juta rupiah
persepuluh hari panen, tentunya dengan hasil empang yang dibarengi dengan
Sango-sango, rumput laut yang pengelolaannya tidak begitu sulit dan dihargai
oleh pasaran cukup tinggi hingga diekspor ke luar negeri misalnya Korea untuk
kemudian diolah menjadi bahan makanan atau kosmetik. Tidak sama seperti
beberapa desa lainnya di Cenrana dimana orang biasa menggunakan sawah tadah
hujan untuk bertani di kala kemarau, empang menjadi satu-satunya sumber
kehidupan utama di Pusungnge apapun musimnya.
Di desa yang memiliki aktivitas produksi komoditi
ekspor dari kabupaten Bone ini, masyarakat cukup apatis terhadap pendidikan.
Kalau anda berkunjung ke desa ini, anda akan kesulitan untuk menemukan anak
berseragam SMA, hanya beberapa barisan anak SD dan sejumlah kecil anak SMP yang
kelihatan menunggu perahu kala pagi hari untuk menyeberangi sungai ke sekolah
mereka yang berlokasi di desa lain. Di desa Pusungnge, hanya ada satu sekolah
yaitu yang ada di dusun II, Nipa-nipa. Jaraknya cukup jauh dari dusun I
ditempuh dengan perahu katinting selama sekitar 15 menit. Inipun sekedar berupa
bangunan sekolah yang berdiri mungil dari kayu terdiri dari dua kelas. Tenaga
pengajar pun cukup terbatas kata salah seorang anggota keluarga kepala dusun II
yang tinggal di sekitar sekolah. Mereka yang SMP dan SMA mesti menyeberang ke
desa lain untuk bersekolah, bahkan tidak sedikit anak SD yang tinggal di dusun
I memilih untuk hengkang bersekolah ke desa lain di luar Pusungnge dengan
alasan kualitas yang lebih baik, ada juga karena jarak yang memang lebih dekat
dibanding bersekolah di dusun II. Bahkan ada juga yang mesti menjatuhkan pilihan
untuk menenteng jaring ke empang membantu orang tua meng-empang daripada
menenteng tas ke sekolah. Namun demikian, anak-anak di Pusungnge memiliki
antusiasme dan potensi yang sangat tinggi dalam hal pendidikan. Mereka sangat
bersemangat ketika belajar. Untuk kegiatan hiburan di kampung ini, masyarakat
terutama anak muda biasa menghabiskan waktu dengan olahraga-olahraga seperti
sepak bola, sepak takraw, bola voli, dan bulu tangkis. Adapun hiburan lainnya,
televisi beserta siaran-siaran nasional dan mancanegara sudah dapat diakses
warga dengan antena parabola. Melihat kemampuan akses informasi yang cukup
tinggi ini, tidak semestinya masyarakat di sini dinyatakan tertinggal.
Untuk transportasi, perahu menjadi kendaraan utama
warga setempat untuk mobilisasi dari satu desa ke desa lain, hingga ke
kecamatan. Di Pusungnge sendiri, layaknya desa tulen, hampir tidak pernah anda
akan melihat motor, apalagi mobil.
Lahan
taman desa di desa ini kurang, mengingat daratan desa yang dipenuhi dengan
pasir, jadi tanaman-tanaman hias agak sulit ditemui. Namun dengan mengarungi
desa Pusungnge, mata anda tetap akan dimanjakan dengan tumbuhan-tumbuhan
pesisir yang tumbuh bebas di berbagai tempat, misalnya kelapa, mangrove, dan
beberapa lainnya.
Gambar 2 Pematang tambak warga
Nipa-Nipa, Dusun II Desa Pusungnge
|
0 komentar:
Posting Komentar